BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era reformasi yang sedang berjalan di Indonesia
diwarisi oleh banyak sekali persoalan yang terjadi di era sebelumnya. Salah
satu persoalan yang paling membutuhkan perhatian serius adalah persoalan di bidang
hukum, terutama masalah korupsi. Hal ini disebabkan karena di bidang ini
persoalan yang ada terus menumpuk. Kasus-kasus korupsi di era sebelumnya yang
masih belum terselesaikan ditambah oleh banyaknya kasus korupsi yang justru
terjadi di era reformasi ini.[1]
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang
benar-benar mengakar dan sulit diberantas. Salah satu penyebab korupsi sangat
sulit diberantas adalah karena aktor-aktor utama korupsi kebanyakan adalah
pemerintah itu sendiri.[2]
Hal tersebut mengingatkan kepada ungkapan usang yang dikemukakan oleh Lord
Acton bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut
cenderung terjadi korupsi absolut.[3]
Berbagai peraturan perundang-undangan pidana telah
berubah secara dinamis mengikuti perkembangan masyarakat, termasuk dalam
pemberantasan korupsi. Data dari Transparency
International (TI) menyebutkan bahwa[4]
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia terus menunjukkan kecenderungan
membaik, yakni mulai angka 1,7 di tahun 1999 menjadi 2,0 di tahun 2004 dan 2,8
di tahun 2010. Meskipun demikian, pada kenyataannya tingkat korupsi yang
terjadi di Indonesia masih sangat tinggi.
Pada mulanya kesulitan terbesar dalam memberantas
korupsi adalah minimnya perangkat hukum beserta struktur penegakannya yang
sudah demikian hancur. Berbagai peraturan yang telah ada tidak banyak membantu,
alih-alih justru menyulitkan agenda pemberantasan korupsi. Demikian halnya
dengan aparatur penegak hukum yang tidak cakap. Barangkali ketidakcakapan itu
sebagian besar lahir karena mentalitas yang buruk. Hampir tidak ada cermin yang
memantul integritas dan akuntabilitas atas kerja-kerja aparat penegak hukum dalam
memberantas korupsi. Lebih mengerikan, upaya-upaya penegakan hukum justru
digembosi oleh mereka sendiri.[5]
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan sebuah
Pasal yang benar-benar baru dalam konsep pemberantasan korupsi, yakni adanya pidana
mati bagi koruptor. Bunyi Pasal tersebut adalah “Dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan”. Berdasarkan hal tersebut maka pidana mati dapat
diterapkan namun tindak korupsi tersebut dilakukan dalam keadaan-keadaan
tertentu.
Ancaman pidana mati tersebut selama disahkannya
Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak pernah
diterapkan sehingga hanya sebagian kecil dari masyarakat yang mengetahui bahwa
terdapat ancaman pidana mati dalam tindak pidana korupsi. Maka dari itu tidak
jarang masyarakat Indonesia yang berteriak untuk menghukum mati para koruptor.
Melihat hal tersebut maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai keadaan-keadaan
tertentu yang menyebabkan dapat diterapkannya pidana mati bagi pelaku korupsi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang dapat diangkat adalah
keadaan-keadaan tertentu apa saja yang menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi
dapat dikenakan pidana mati?
BAB II
PEMBAHASAN
Ancaman
pidana mati merupakan ancaman pidana yang paling serius karena berkaitan dengan
nyawa manusia. Dalam hal ini, tindak pidana korupsi jenis memperkaya diri
sendiri mengatur tentang ancaman pidana mati dalam kondisi pemberatan. Hal
tersebut tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Korupsi yang menyatakan
bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.[6]
Klausul
Dalam Keadaan Tertentu tersebut sempat mengalami perubahan yang kemudian diatur
dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menyatakan:
“Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam
ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi”.[7]
Dalam
hal sebagai alasan pemberat maka perlu dibuktikan dan dijelaskan secara nyata
ukuran-ukuran keadaan tertentu tersebut. Oleh karena itu akan dijelaskan
keadaan tertentu sebagai alasan pemberat dalam tindak pidana korupsi, yakni
apabila:
1.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya;
2.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi bencana alam nasional;
3.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas;
4.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penggulangan krisis ekonomi dan
moneter;
5.
Pengulangan tindak pidana korupsi.
Bentuk
keadaan tertentu tersebut sebagai alasan pemberat dalam tindak pidana korupsi pasti memiliki alasan
dan pertimbangan yang tepat sehingga menjadi alasan pemberat untuk
dijatuhkannya pidana mati. Dalam hal ini akan
dikaji bentuk-bentuk bahaya yang ditimbulkan dalam setiap rumusan
keadaan tertentu, sehingga hal itu merupakan hal yang tepat untuk dijadikan
sebagai alasan pemberat.
1. Keadaan bahaya
Keadaan bahaya
dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah sama dengan keadaan bahaya seperti yang ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.[8]
Pada dasarnya
dalam Undang-Undnag Dasar 1945 telah dinyatakan keadaan bahaya sebagaimana
termaktub dalam Pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menyatakan
keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan
undang-undang”.[9]
Dalam hal ini pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1950 menyatakan:
“Ayat 1:
Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara
Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil
atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
i.
Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh
wilayah atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh
pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak
dapat diatasi oleh perlengkapan secara biasa.
ii.
Timbul perang atau bahaya perang atau
dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun
juga
iii.
Hidup negara berada dalam keadaan bahaya
atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada
gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.
Ayat 2 :
Penghapusan
keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.”[10]
Kondisi yang ada
pada saat negara dalam keadaan bahaya terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya. Kondisi tersebut adalah kondisi yang
mengarah pada tereduksinya hak-hak asasi manusia sebagai warga negara yang
berada dalam kondisi tersebut. Oleh karena itu, undang-undang tersebut lahir
untuk memulihkan kondisi dalam keadaan darurat militer, keadaan darurat sipil,
dan keadaan perang kembali kepada keadaan normal.
Tindak pidana
korupsi yang dilakukan dalam keadaan ini akan menghambat pemulihan kondisi
tersebut. Hal tersebut akan semakin memperparah pemenuhan HAM masyarakat saat
ini. Berdasarkan hal tersebut maka mencegah adalah hal yang utama. Untuk
mencegah hal tersebut adalah hal yang sangat tepat ketika diterapkan ancaman
pidana mati pada tindak pidana korupsi memperkaya diri yang dilakukan dalam
keadaan bahaya. Dalam hal ini ancaman pidana mati berperan untuk mencegah,
sebagaimana teori van Ferbauch yang menyatakan bahwa ancaman sudah cukup
memberikan rasa takut dan efek jera.[11]
2. Keadaan bencana alam
Indonesia telah memiliki
instrumen tersendiri yang mengatur bencana alam yaitu Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada Pasal 1 Angka 2 dinyatakan
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.[12]
Dalam hal
penanggulangan bencana terdapat definisi tersendiri dalam Pasal 1 Angka 5 yang
menyatakan bahwa “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”.[13]
Dalam hal ini
Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya tersebut muncul dengan pertimbangan yang
telah dijelaskan dalam konsideran huruf b yang menyatakan:
“Bahwa wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan
demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh
faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional”.
Tujuan
penanggulangan bencana alam adalah untuk melindungi dan memulihkan kondisi
masyarakat untuk kembali kepada keadaan normal. Kondisi negara dalam keadaan
bencana merupakan kondisi dimana sebagian masyarakat menjadi korban, sehingga
pemenuhan HAM setiap individu pada penanggulangan bencana alam nasional adalah
sangat penting.
Tujuan
penanggulangan bencana alam itu sendiri tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang
tentang Penanggulangan Bencana Alam, yang menyatakan:
“Penanggulangan bencana bertujuan
untuk:
a.
Memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari ancaman bencana;
b.
Menyelaraskan peraturan perundang-undangan
yang sudah ada;
c.
Menjamin terselenggaranya penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, terkordinasi, dan menyeluruh;
d.
Menghargai budaya lokal;
e.
Membangun partisipasi dan kemitraan
publik serta swasta;
f.
Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan,
dan kedermawanan, dan;
g.
Menciptakan perdamaian dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Berdasarkan
hal-hal tersebut maka yang menghambat proses penanggulangan bencana seperti
halnya tindak pidana korupsi harus dicegah dan diberantas keberadaannya. Pada
dasarnya hal-hal yang menghambat penanggulangan bencana akan sangat merenggut hak
asasi manusia (HAM) korban bencana serta akan menghambat pembangunan secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi menjadi sangat diperlukan. Melihat kondisi tersebut maka pidana mati
sebagai sanksi pada alasan pemberat adalah hal yang tepat.
3. Kerusuhan sosial yang meluas serta
keadaan krisis ekonomi dan moneter
Dalam hal
penanggulangan kerusuhan sosial yang meluas serta penanggulangan krisis dan
moneter hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat
dijadikan dasar hukum untuk menyatakan keadaan-keadaan tersebut. Yang selama
ini digunakan untuk menyatakan keadaan-keadaan tersebut cukup dengan pernyataan
pemerintah.[14]
Oleh karena itu
maka dalam rumusan ini bentuk-bentuk penafsiran diserahkan kepada pihak-pihak
yang berkewajiban membuktikan unsur-unsur tersebut. Untuk meningkatkan
kepastian hukum lebih baiknya hal tersebut didefinisikan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pada dasarnya
kondisi kerusuhan sosial tidaklah jauh berbeda dengan keadaan bahaya karena
pada dasarnya pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya
menyebut kerusuhan sosial yang meluas sebagai salah satu penyebab negara
dinyatakan dalam keadaan bahaya. Bunyi pasal tersebut yakni:
“Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian wilayah Negara Republik
Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan darurat sipil atau
keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila
Keamanan atau ketertiban hukum
diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam
oleh pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan
tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa”.
Dalam hal ini
penerapan sanksi yang tepat pada dua klausul pada kerusuhan-kerusuhan sosial
maupun penanganan krisis ekonomi dan moneter yang meluas merupakan keniscayaan.
Sanksi yang tepat saat ini adalah pidana mati sebagai alat untuk mencegah
dilakukannya perbuatan korupsi jenis memperkaya diri dalam keadaan tersebut.
4. Pengulangan tindak pidana korupsi
Maksud dari
pengulangan tindak pidana korupsi adalah ketika korupsi yang dilakukan
sebelumnya telah diputus oleh pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap,
lalu kemudian melakukan lagi tindak pidana korupsi. Pengulangan tindak pidana
korupsi jenis memperkaya diri merupakan bukti tidak efektifnya sanksi yang
telah dijatuhkan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Korupsi. Semakin marak
dan banyaknya tindak pidana korupsi jenis memperkaya diri menjalar di negeri
ini, maka akan menghambat pemenuhan HAM secara luas, bahkan dapat menimbulkan
kerugian yang sangat nyata pada masyarakat secara keseluruhan.
Berdasarkan hal
itu, untuk efektifitas dan pencegahan dilakukannya tindak pidana korupsi jenis
memperkaya diri diperlukan adanya suatu sanksi yang efektif. Sanksi tersebut
harus memberikan ketakutan agar tidak terjadi lagi perbuatan tindak pidana
korupsi. Dalam hal ini, penerapan ancaman pidana mati merupakan hal yang tepat.
Undang-Undang
Korupsi sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas
memperbolehkan seorang pelaku tindak pidana korupsi untuk dihukum mati. Akan tetapi
dalam kenyataannya di Indonesia sendiri hukuman mati bagi koruptor belum pernah
diterapkan. Hal tersebut sangat disayangkan mengingat dampak korupsi yang
sangat membahayakan bagi kepentingan nasional. Pengenaan pidana mati bagi
koruptor itu sendiri dapat menjadi efek jera bagi masyarakat. Masyarakat akan
berpikir ulang apabila hendak berbuat korupsi. Oleh sebab itu, pidana mati perlu
dijatuhkan kepada para koruptor terutama kepada koruptor yang melakukan tindak
pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan koruptor kelas kakap untuk mengurangi
jumlah tindak pidana korupsi yang merajalela dalam rangka mewujudkan Indonesia
yang lebih bersih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ancaman pidana
mati merupakan ancaman pidana yang paling serius karena berkaitan dengan nyawa
manusia. Dalam hal ini, tindak pidana korupsi jenis memperkaya diri sendiri
mengatur tentang ancaman pidana mati dalam kondisi pemberatan. Hal tersebut
tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Adapun
keadaan-keadaan tertentu yang dijadikan sebagai alasan pemberat dalam tindak
pidana korupsi yakni:
1.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya;
2.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi bencana alam nasional;
3.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas;
4.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penggulangan krisis ekonomi dan
moneter;
5.
Pengulangan tindak pidana korupsi.
Meskipun di
Undang-Undang Korupsi telah mengatur tentang pidana mati bagi pelaku tindak
pidana korupsi, belum ada satupun koruptor yang dipidana mati. Hal tersebut
sangat disayangkan mengingat dampak yang ditimbulkan tindak pidana korupsi
dapat mengganggu kepentingan nasional.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan
di atas, saran yang dapat diberikan adalah hakim harus berani menjatuhkan
pidana mati kepada koruptor yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu dan
sangat merugikan keuangan negara. Hal tersebut berguna untuk memberikan efek
jera bagi masyarakat dalam rangka menciptakan Indonesia yang lebih bersih dari
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Djaja,
Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi
bersama KPK. Sinar Grafika Jakarta.
Hamzah,
Andi., dkk. 2004. Pengkajian Masalah
Hukum Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan HAM RI.
Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta
Jakarta.
Hiariej,
Eddy O.S., dkk. 2006. Bunga Rampai Hukum
Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara Jakarta.
Indrayana,
Denny. 2011. Indonesia Optimis. PT.
Bhuana Ilmu Populer Jakarta.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam.
Undang-Undang Nomor 23
Prp Tahun 1950 tentang Keadaan Bahaya.
C. Internet
Adnan,
Melawan Pemberantasan Korupsi, http://penghunilangit.blogspot.com/
Diakses tanggal 5 Desember 2011.
[1]
Andi
Hamzah, dkk, 2004, Pengkajian Masalah
Hukum Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan HAM RI, Hlm.1
[2]
Ermansjah
Djaja, 2008, Memberantas Korupsi bersama
KPK, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.1
[3]
Eddy O.S.
Hiariej, dkk, 2006, Bunga Rampai Hukum
Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, Hlm. 31
[4]
Denny
Indrayana, 2011, Indonesia Optimis,
PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, Hlm. 200
[5]
Adnan,
Melawan Pemberantasan Korupsi, http://penghunilangit.blogspot.com/
Diakses tanggal 5 Desember 2011.
[6]
Pasal 2
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[7]
Penjelasan
Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[8] Ermansjah Djaja,
Op.Cit, Hlm.41
[9] Pasal 12
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
[10] Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 23 Prp Tahun 1950 tentang Keadaan Bahaya.
[11] Andi Hamzah,
2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka
Cipta, Jakarta, Hlm.24-25
[12] Pasal 1 Angka 2
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam.
[13] Pasal 1 Angka 5
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam.
[14]
Ermansjah
Djaja, Op.Cit., Hlm.41-42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar