Sabtu, 25 Februari 2012

Pidana Mati Bagi Koruptor


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
Era reformasi yang sedang berjalan di Indonesia diwarisi oleh banyak sekali persoalan yang terjadi di era sebelumnya. Salah satu persoalan yang paling membutuhkan perhatian serius adalah persoalan di bidang hukum, terutama masalah korupsi. Hal ini disebabkan karena di bidang ini persoalan yang ada terus menumpuk. Kasus-kasus korupsi di era sebelumnya yang masih belum terselesaikan ditambah oleh banyaknya kasus korupsi yang justru terjadi di era reformasi ini.[1]
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang benar-benar mengakar dan sulit diberantas. Salah satu penyebab korupsi sangat sulit diberantas adalah karena aktor-aktor utama korupsi kebanyakan adalah pemerintah itu sendiri.[2] Hal tersebut mengingatkan kepada ungkapan usang yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung terjadi korupsi absolut.[3]
Berbagai peraturan perundang-undangan pidana telah berubah secara dinamis mengikuti perkembangan masyarakat, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Data dari Transparency International (TI) menyebutkan bahwa[4] Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia terus menunjukkan kecenderungan membaik, yakni mulai angka 1,7 di tahun 1999 menjadi 2,0 di tahun 2004 dan 2,8 di tahun 2010. Meskipun demikian, pada kenyataannya tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia masih sangat tinggi.
Pada mulanya kesulitan terbesar dalam memberantas korupsi adalah minimnya perangkat hukum beserta struktur penegakannya yang sudah demikian hancur. Berbagai peraturan yang telah ada tidak banyak membantu, alih-alih justru menyulitkan agenda pemberantasan korupsi. Demikian halnya dengan aparatur penegak hukum yang tidak cakap. Barangkali ketidakcakapan itu sebagian besar lahir karena mentalitas yang buruk. Hampir tidak ada cermin yang memantul integritas dan akuntabilitas atas kerja-kerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Lebih mengerikan, upaya-upaya penegakan hukum justru digembosi oleh mereka sendiri.[5]
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan sebuah Pasal yang benar-benar baru dalam konsep pemberantasan korupsi, yakni adanya pidana mati bagi koruptor. Bunyi Pasal tersebut adalah “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Berdasarkan hal tersebut maka pidana mati dapat diterapkan namun tindak korupsi tersebut dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.
Ancaman pidana mati tersebut selama disahkannya Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak pernah diterapkan sehingga hanya sebagian kecil dari masyarakat yang mengetahui bahwa terdapat ancaman pidana mati dalam tindak pidana korupsi. Maka dari itu tidak jarang masyarakat Indonesia yang berteriak untuk menghukum mati para koruptor. Melihat hal tersebut maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan dapat diterapkannya pidana mati bagi pelaku korupsi.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang dapat diangkat adalah keadaan-keadaan tertentu apa saja yang menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi dapat dikenakan pidana mati?


BAB II
PEMBAHASAN


Ancaman pidana mati merupakan ancaman pidana yang paling serius karena berkaitan dengan nyawa manusia. Dalam hal ini, tindak pidana korupsi jenis memperkaya diri sendiri mengatur tentang ancaman pidana mati dalam kondisi pemberatan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Korupsi yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.[6]
Klausul Dalam Keadaan Tertentu tersebut sempat mengalami perubahan yang kemudian diatur dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menyatakan:
“Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi”.[7]

Dalam hal sebagai alasan pemberat maka perlu dibuktikan dan dijelaskan secara nyata ukuran-ukuran keadaan tertentu tersebut. Oleh karena itu akan dijelaskan keadaan tertentu sebagai alasan pemberat dalam tindak pidana korupsi, yakni apabila:
1.    Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya;
2.    Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi bencana alam nasional;
3.    Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas;
4.    Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penggulangan krisis ekonomi dan moneter;
5.    Pengulangan tindak pidana korupsi.
Bentuk keadaan tertentu tersebut sebagai alasan pemberat dalam  tindak pidana korupsi pasti memiliki alasan dan pertimbangan yang tepat sehingga menjadi alasan pemberat untuk dijatuhkannya pidana mati. Dalam hal ini akan  dikaji bentuk-bentuk bahaya yang ditimbulkan dalam setiap rumusan keadaan tertentu, sehingga hal itu merupakan hal yang tepat untuk dijadikan sebagai alasan pemberat.
1.    Keadaan bahaya
Keadaan bahaya dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sama dengan keadaan bahaya seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.[8]
Pada dasarnya dalam Undang-Undnag Dasar 1945 telah dinyatakan keadaan bahaya sebagaimana termaktub dalam Pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”.[9] Dalam hal ini pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1950 menyatakan:
“Ayat 1: Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
                             i.          Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh perlengkapan secara biasa.
                           ii.          Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga
                         iii.          Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.
Ayat 2 : Penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.”[10]
Kondisi yang ada pada saat negara dalam keadaan bahaya terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya. Kondisi tersebut adalah kondisi yang mengarah pada tereduksinya hak-hak asasi manusia sebagai warga negara yang berada dalam kondisi tersebut. Oleh karena itu, undang-undang tersebut lahir untuk memulihkan kondisi dalam keadaan darurat militer, keadaan darurat sipil, dan keadaan perang kembali kepada keadaan normal.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan ini akan menghambat pemulihan kondisi tersebut. Hal tersebut akan semakin memperparah pemenuhan HAM masyarakat saat ini. Berdasarkan hal tersebut maka mencegah adalah hal yang utama. Untuk mencegah hal tersebut adalah hal yang sangat tepat ketika diterapkan ancaman pidana mati pada tindak pidana korupsi memperkaya diri yang dilakukan dalam keadaan bahaya. Dalam hal ini ancaman pidana mati berperan untuk mencegah, sebagaimana teori van Ferbauch yang menyatakan bahwa ancaman sudah cukup memberikan rasa takut dan efek jera.[11]
2.    Keadaan bencana alam
Indonesia telah memiliki instrumen tersendiri yang mengatur bencana alam yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada Pasal 1 Angka 2 dinyatakan Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.[12]
Dalam hal penanggulangan bencana terdapat definisi tersendiri dalam Pasal 1 Angka 5 yang menyatakan bahwa “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”.[13]
Dalam hal ini Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya tersebut muncul dengan pertimbangan yang telah dijelaskan dalam konsideran huruf b yang menyatakan:
“Bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional”.
Tujuan penanggulangan bencana alam adalah untuk melindungi dan memulihkan kondisi masyarakat untuk kembali kepada keadaan normal. Kondisi negara dalam keadaan bencana merupakan kondisi dimana sebagian masyarakat menjadi korban, sehingga pemenuhan HAM setiap individu pada penanggulangan bencana alam nasional adalah sangat penting.
Tujuan penanggulangan bencana alam itu sendiri tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana Alam, yang menyatakan:
“Penanggulangan bencana bertujuan untuk:
a.    Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
b.    Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c.    Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkordinasi, dan menyeluruh;
d.   Menghargai budaya lokal;
e.    Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f.     Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan, dan;
g.    Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka yang menghambat proses penanggulangan bencana seperti halnya tindak pidana korupsi harus dicegah dan diberantas keberadaannya. Pada dasarnya hal-hal yang menghambat penanggulangan bencana akan sangat merenggut hak asasi manusia (HAM) korban bencana serta akan menghambat pembangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi sangat diperlukan. Melihat kondisi tersebut maka pidana mati sebagai sanksi pada alasan pemberat adalah hal yang tepat.
3.    Kerusuhan sosial yang meluas serta keadaan krisis ekonomi dan moneter
Dalam hal penanggulangan kerusuhan sosial yang meluas serta penanggulangan krisis dan moneter hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum untuk menyatakan keadaan-keadaan tersebut. Yang selama ini digunakan untuk menyatakan keadaan-keadaan tersebut cukup dengan pernyataan pemerintah.[14]
Oleh karena itu maka dalam rumusan ini bentuk-bentuk penafsiran diserahkan kepada pihak-pihak yang berkewajiban membuktikan unsur-unsur tersebut. Untuk meningkatkan kepastian hukum lebih baiknya hal tersebut didefinisikan dalam peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya kondisi kerusuhan sosial tidaklah jauh berbeda dengan keadaan bahaya karena pada dasarnya pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya menyebut kerusuhan sosial yang meluas sebagai salah satu penyebab negara dinyatakan dalam keadaan bahaya. Bunyi pasal tersebut yakni:
“Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila
Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa”.
Dalam hal ini penerapan sanksi yang tepat pada dua klausul pada kerusuhan-kerusuhan sosial maupun penanganan krisis ekonomi dan moneter yang meluas merupakan keniscayaan. Sanksi yang tepat saat ini adalah pidana mati sebagai alat untuk mencegah dilakukannya perbuatan korupsi jenis memperkaya diri dalam keadaan tersebut.
4.    Pengulangan tindak pidana korupsi
Maksud dari pengulangan tindak pidana korupsi adalah ketika korupsi yang dilakukan sebelumnya telah diputus oleh pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap, lalu kemudian melakukan lagi tindak pidana korupsi. Pengulangan tindak pidana korupsi jenis memperkaya diri merupakan bukti tidak efektifnya sanksi yang telah dijatuhkan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Korupsi. Semakin marak dan banyaknya tindak pidana korupsi jenis memperkaya diri menjalar di negeri ini, maka akan menghambat pemenuhan HAM secara luas, bahkan dapat menimbulkan kerugian yang sangat nyata pada masyarakat secara keseluruhan.
Berdasarkan hal itu, untuk efektifitas dan pencegahan dilakukannya tindak pidana korupsi jenis memperkaya diri diperlukan adanya suatu sanksi yang efektif. Sanksi tersebut harus memberikan ketakutan agar tidak terjadi lagi perbuatan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, penerapan ancaman pidana mati merupakan hal yang tepat.
Undang-Undang Korupsi sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas memperbolehkan seorang pelaku tindak pidana korupsi untuk dihukum mati. Akan tetapi dalam kenyataannya di Indonesia sendiri hukuman mati bagi koruptor belum pernah diterapkan. Hal tersebut sangat disayangkan mengingat dampak korupsi yang sangat membahayakan bagi kepentingan nasional. Pengenaan pidana mati bagi koruptor itu sendiri dapat menjadi efek jera bagi masyarakat. Masyarakat akan berpikir ulang apabila hendak berbuat korupsi. Oleh sebab itu, pidana mati perlu dijatuhkan kepada para koruptor terutama kepada koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan koruptor kelas kakap untuk mengurangi jumlah tindak pidana korupsi yang merajalela dalam rangka mewujudkan Indonesia yang lebih bersih.



















BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Ancaman pidana mati merupakan ancaman pidana yang paling serius karena berkaitan dengan nyawa manusia. Dalam hal ini, tindak pidana korupsi jenis memperkaya diri sendiri mengatur tentang ancaman pidana mati dalam kondisi pemberatan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Adapun keadaan-keadaan tertentu yang dijadikan sebagai alasan pemberat dalam tindak pidana korupsi yakni:
1.    Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya;
2.    Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi bencana alam nasional;
3.    Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas;
4.    Tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penggulangan krisis ekonomi dan moneter;
5.    Pengulangan tindak pidana korupsi.
Meskipun di Undang-Undang Korupsi telah mengatur tentang pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi, belum ada satupun koruptor yang dipidana mati. Hal tersebut sangat disayangkan mengingat dampak yang ditimbulkan tindak pidana korupsi dapat mengganggu kepentingan nasional.
B.  Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat diberikan adalah hakim harus berani menjatuhkan pidana mati kepada koruptor yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu dan sangat merugikan keuangan negara. Hal tersebut berguna untuk memberikan efek jera bagi masyarakat dalam rangka menciptakan Indonesia yang lebih bersih dari korupsi.


DAFTAR PUSTAKA
 
A.  Buku
Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi bersama KPK. Sinar Grafika Jakarta.
Hamzah, Andi., dkk. 2004. Pengkajian Masalah Hukum Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI.
Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta Jakarta.
Hiariej, Eddy O.S., dkk. 2006. Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara Jakarta.
Indrayana, Denny. 2011. Indonesia Optimis. PT. Bhuana Ilmu Populer Jakarta.
B.  Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam.
Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1950 tentang Keadaan Bahaya.
C.  Internet
Adnan, Melawan Pemberantasan Korupsi, http://penghunilangit.blogspot.com/ Diakses tanggal 5 Desember 2011.


[1] Andi Hamzah, dkk, 2004, Pengkajian Masalah Hukum Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Hlm.1
[2] Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.1
[3] Eddy O.S. Hiariej, dkk, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, Hlm. 31
[4] Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, Hlm. 200
[5] Adnan, Melawan Pemberantasan Korupsi, http://penghunilangit.blogspot.com/ Diakses tanggal 5 Desember 2011.
[6] Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[7] Penjelasan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[8] Ermansjah Djaja, Op.Cit, Hlm.41
[9] Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
[10] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1950 tentang Keadaan Bahaya.
[11] Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm.24-25
[12] Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam.
[13] Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam.
[14] Ermansjah Djaja, Op.Cit., Hlm.41-42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar