A. Pendahuluan
Tumbuhnya berbagai
aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak
henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada masa lalu filsafat hukum
merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi
demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian
tersendiri bagi para ahli hukum.
Sudah menjadi tradisi
ilmiah bahwa suatu pemikiran pada saat tertentu akan terasa tidak sesuai lagi
dengan jamannya dan segera disangkal oleh pemikiran berikutnya. Sekalipun
demikan, pemikiran yang lama tetap menjadi buah karya yang berharga untuk
dikaji ulang terus-menerus, dan boleh jadi suatu saat nanti kembali tampil ke
depan dengan bentuk baru.
Aliran-aliran
filsafat hukum yang akan dibicarakan dalam tulisan ini meliputi: (1) Aliran
Hukum Alam;
(2) Positivisme Hukum; (3) Utilitarianisme; (4) Mazhab Sejarah; (5)
Sosiological Jurisprudence; (6) Realisme Hukum; (7)
Freirechtslehre. Tata urutan pembahasan tersebut tidak menunjukkan bahwa suatu
aliran yang dibicarakan lebih dulu selalu mendahului aliran yang dibicarakan
kemudian. Urutan di atas lebih didasarkan pada sistematika pemikiran dari
masing-masing aliran, yang dalam suatu situasi sesuai dengan tata urutan
kronologis, namun disisi lain juga tidak lagi sesuai. Aliran-aliran filsafat
hukum ini semuanya dapat dimasukkan kembali ke dalam tiga kelompok aliran besar
filsafat, yaitu idealisme, rasionalisme, dan empirisme.
B. Aliran Hukum Alam
Aliran hukum
alam telah berkembang sejak kurun waktu 2500 tahun yang lalu, dan muncul dalam
berbagai bentuk pemikiran. Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedmann aliran
ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut.
Hukum alam di sini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.
Gagasan mengenai
hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran hakikat makhluk hidup
akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib
sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi
dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Secara
sederhana, menurut sumbernya Aliran Hukum Alam dapat dibedakan dalam dua macam
yakni irasional dan rasional. Aliran Hukum Alam yang irasional berpendapat
bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara
langsung. Sebaliknya, Aliran Hukum Alam yang rasional berpendapat bahwa sumber
dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.
1.
Hukum Alam Irasional
Beberapa
pendukung Aliran Hukum Alam irasional yang akan diuraikan
pandangan-pandangannya adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante Alighieri,
Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam, John Wycliffe, dan Johannes Huss.
a.
Thomas Aquinas (1225-1274)
Filsafat
Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia. Ia mengakui bahwa di samping
kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya ada pengetahuan yang
tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan iman.
Berbicara
tentang hukum, Aquinas mendefinisikan sebagai ketentuan akal untuk kebaikan
umum yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Ada empat macam hukum
yang diberikan Aquinas, yaitu (1) lex
aeterna (hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera
manusia), (2) lex divina (hukum rasio
yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia), (3) lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio manusia), dan (4) lex positivis (penerapan lex
naturalis dalam kehidupan manusia di dunia).
b.
John Salisbury (1115-1180)
Dalam
menjalankan pemerintahannya, penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan
tidak tertulis (hukum alam), yang mencerminkan hukum-hukum Allah. Tugas
rohaniwan adalah membimbing penguasa agar tidak merugikan kepentingan rakyat,
dan menurutnya bahkan penguasa itu seharusnya menjadi abdi gereja. Menurut
Salisbury, jikalau masing-masing penduduk bekerja untuk kepentingannya sendiri,
kepentingan masyarakat akan terpelihara dengan sebaik-baiknya.
c.
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante amat
menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada gereja. Baginya keadilan baru
dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkan kepada satu tangan saja
berupa pemerintahan yang absolut. Menurutnya, badan tertinggi yang memperoleh
legitimasi dari Tuhan sebagai monarkhi dunia ini adalah Kekaisaran Romawi.
d.
Piere Dubois (lahir 1255)
Dubois
mencita-citakan suatu Kerajaan Perancis yang luas, yang menjadi pemerintah
tunggal dunia. Di sini tampak Dubois sangat meyakini adanya hukum yang dapat
berlaku universal. Sama seperti Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa (raja)
dapat langsung menerima kekuasaan dari Tuhan, tanpa melewati pemimpin gereja.
Bahkan Dubois ingin agar kekuasaan duniawi gereja (paus) dicabut dan diserahkan
sepenuhnya kepada raja.
e.
Marsilius Padua (1270-1340) dan William
Occam (1280-1317)
Padua
berpendapat bahwa negara berada di atas kekuasaan Paus. Kedaulatan tertinggi
ada di tanga rakyat. Padua juga berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk
memajukan kemakmuran dan member kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara
agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Bahkan, rakyat pula yang
berwenang memilih pemerintahannya. Rakyat boleh menghukum penguasa (raja) yang
melanggar undang-undang, termasuk memberhentikannya. Kekuasaan raja bukanlah
kekuasaan absolute melainkan dibatasi oleh undang-undang.
Di sisi lain,
filsafat Occam sering disebut Nominalisme. Jika Thomas Aquinas meyakini
kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, maka Occam berpendapat
bahwa rasio manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran. Pengetahuan (ide)
yang ditangkap oleh rasio hanyalah nama-nama (nomen, nominal) yang digunakan
manusia dalam hidupnya.
f.
John Wycliffe (1320-1384) dan Johannes
Huss (1369-1415)
Wycliffe
mengatakan urusan negara seharusnya tidak boleh dicampuri oleh rohaniawan
karena corak pemerintahan para rohaniawan itu adalah corak kepemimpinan yang
paling buruk. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dipimpin para
bangsawan. Menurutnya kekuasaan ketuhanan tidak perlu perantara (rohaniawan
gereja) sehingga baik para rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya di mata
Tuhan.
Huss melengkapi
pemikiran Wycliffe. Huss mengatakan bahwa gereja tidak perlu mempunyai hak
milik. Karena itu, penguasa boleh merampas milik itu apabila gereja salah
menggunakan haknya. Menurutnya, Paus dan hierarki gereja tidak diadakan menurut
perintah Tuhan. Gereja yang sebenarnya dibentuk oleh semua orang yang beriman.
2.
Hukum Alam Rasional
a.
Hugo de Groot alias Grotius (1583-1645)
Hugo dikenal
sebagai Bapak Hukum Internasional karena dialah yang memperoleh konsep-konsep
hukum dalam hubungan antar negara, seperti hukum perang dan damai, serta hukum
laut. Menurut Grotius, sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik
yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh
kehidupan manusia harus berdasarkan kemampuan akal/rasio itu.
b.
Samuel von Pufendorf (1632-1694) dan
Christian Thomasius (1655-1728)
Pufendorf adalah
penganjur pertama hukum alam di Jerman. Pekerjaannya dilanjutkan Thomasius.
Pudfendorf berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal
pikiran yang murni. Dalam hal ini unsur naluriah manusia yang lebih berperan.
Akibatnya ketika manusia hidup bermasyarakat, timbul pertentangan kepentingan
satu dengan yang lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan terus-menerus
dibuatlah perjanjian secara sukarela di antara rakyat. Dengan adanya perjanjian
itu berarti tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan itu dibatasi oleh
Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari negara.
Sementara itu
menurut Thomasius, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan
satu dengan yang lain. Karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang
mengikat agar ia mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya, baik ke dalam
maupun ke luar.
c.
Immanuel Kant (1724-1804)
Filsafat Kant
dikenal sebagai filsafat kritis, merupakan sintesis dari rasionalisme dan
empirisme. Kritisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih
dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant menyelidiki
unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari rasio (sudah ada
terlebih dulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan mana yang murni berasal dari
empiris.
C. Positivisme Hukum
Positivisme
Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara
hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali
perintah penguasa. Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan
nama Legisme berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan
undang-undang. Positivisme hukum dibedakan dalam dua corak:
1.
Aliran Hukum Positif Analitis: John
Austin (1790-1859)
Hukum
adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum sendiri menurut Austin
terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap,
logis, dan tertutup. Pihak superior yang menentukan apa yang diperbolehkan.
Kekuasaan dari superior memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum
dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah
yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja
bijaksana dan adil, atau sebaliknya.
2.
Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen
(1881-1973)
Menurut
Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti
unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal
dengan Teori Hukum Murni (Reine
Rechtlehre) dari Kelsen. Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang
mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang
dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana
hukum itu seharusnya“ (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya“ (what the law is).
Kelsen,
selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa
mengembangkan Teori Jenjang (Struffentheorie)
yang semula dikemukakan Adolf Merkl (1836-1896). Teori ini melihat hukum
sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma
yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari norma yang lebih tinggi. Norma
yang paling tinggi disebut Grundnorm.
D. Utilitarianisme
Utilitarianisme
atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama
hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum
bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau
tidak. Pendukung Utilitarianisme diantaranya:
1.
Jeremy Bentham (1748-1832)
Bentham
berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu
berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah
kebahagiaan, kejahatan adlaah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan
dan mencegah kejahatan. Kepentingan individu dan masyarakat perlu diperhatikan.
Untuk menyeimbangkannya diperlukan “simpati“ dari tiap-tiap individu.
2.
John Stuart Mill (1806-1873)
Pemikiran
Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa
tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu
melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai manusia
itu bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat
ditimbulkannya. Peran Mill dalam ilmu hukum terletak dalam penyelidikannya
mengenai hubungan antara keadilan, kegunaan, kepentingan individu dan
kepentingan umum.
3.
Rudolf von Jhering (1818-1892)
Mula-mula
von Jhering menganut Mazhab Sejarah yang dipelopori von Savigny dan Puchta,
tetapi lama-kelamaan ia melepaskan diri, bahkan menentang pandangan von Savigny
tentang hukum Romawi. Menurutnya, seperti dalam hidup sebagai perkembangan
biologis, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya,
demikian pula halnya dalam bidang kebudayaan karena pergaulan intensif
antarbangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan.
Lapisan tertua hukum Romawi adalah bersifat nasional, tetapi pada
tingkat-tingkat perkembangannya yang lebih lanjut hukum itu makin mendapat
ciri-ciri universal. Inilah jalan biasa dalam suatu perkembangan suatu sistem
hukum; ciri-ciri hukum lain makin diasimilasikan dalam hukum
nasional, sehingga hukum yang pada mulanya nasional makin menjadi hukum
universal.
E. Mazhab Sejarah
Mazhab Sejarah
merupakan reaksi terhadap tiga hal:
1.
Rasionalisme Abad ke-18 yang didasarkan
atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya
berperan pada filsafat hukum.
2.
Semangat Revolusi Perancis yang
menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan pada rasio
dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya, yaitu seruannya
ke penjuru dunia).
3.
Pendapat yang berkembang saat itu yang
melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan
semua masalah hukum.
Di samping itu,
terdapat faktor lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman setelah berakhirnya
masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1772-1840). Karena
dipengaruhi oleh keinginannya akan kesatuan negara, ia menyatakan keberatan
terhadap hukum yang tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki,
sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilanglah keseluruhan
gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan
jalan penyusunan undang-undang dalam kitab. Tokoh-tokoh aliran ini adalah:
1.
Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)
Menurut
Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan,
tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa
bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Pandangan Savigny ini bertentangan
pula dengan Positivisme Hukum. Ia mengingatkan bahwa untuk membangun hukum,
studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak diperlukan.
2.
Puchta (1798-1846)
Puchta
berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang
bersangkutan. Hukum tersebut menurut Puchta dapat berbentuk (1) langsung berupa
adat istiadat, (2) melalui undang-undang, (3) melalui ilmu hukum dalam bentuk
karya para ahli hukum.
Menurut
Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui
kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan
hukum itu dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan pembentukan hukum
dalam negara sedemikian rupa sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi
sumber-sumber hukum lainnya yakni praktek hukum dalam adat istiadat bangsa dan
pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum.
3.
Henry Summer Maine (1822-1888)
Maine
dianggap sebagai pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Salah satu penelitiannya
yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga
hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan masyarakat yang telah maju, yang
dilakukannya berdasarkan pendekatan sejarah.kesimpulan penelitian itu kembali
memperkuat pemikiran von Savigny yang membuktikan adanya evolusi pada berbagai
masyarakat dalam situasi sejarah yang sama.
F. Sociological Jurisprudence
Sociological
Jurisprudence berbeda dengan sosiologi hukum. Yang
pertama, Sociological Jurisprudence adalah
nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari
sosiologi. Kedua, Socoilogical
Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan
sosiologi hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum
yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.
Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup di
masyarakat (the living law).
Tokoh-tokoh aliran ini diantaranya:
1.
Eugen Ehrlich (1862-1922)
Ehrlich
dapat dianggap sebagai pelopor aliran Sociological
Jurisprudence. Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif disatu
pihak dengan hukum yang hidup di masyarakat dilain pihak. Menurutnya, hukum
baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Pandangan ini jelas berbeda
dengan Positivisme Hukum.
Bagi
Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan
pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Ehrlich
beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem
hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat bersangkutan. Kesadaran itu harus ada dalam setiap diri profesi
hukum yang bertugas mengembangakn hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup
hukum positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup.
2.
Roscoe Pound (1870-1964)
Pound
terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui
(merekayasa) masyarakat (law is a tool of
social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut,
Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum, diantaranya:
a.
Kepentingan umum (public interest):
1)
Kepentingan negara sebagai badan hukum
2)
Kepentingan negara sebagai penjaga
kepentingan masyarakat
b.
Kepentingan masyarakat (social interest):
1)
Kepentingan akan kedamaian dan
ketertiban
2)
Perlindungan lembaga-lembaga sosial
3)
Pencegahan kemerosotan akhlak
4)
Pencegahan pelanggaran hak
5)
Kesejahteraan sosial
c.
Kepentingan pribadi (private interest):
1)
Kepentingan individu
2)
Kepentingan keluarga
3)
Kepentingan hak milik
Dari
klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal. Pertama, Pound mengikuti garis
pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan
terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam
perkembangan sosial. Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan
premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang, hakim,
pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai
yang terkait dalm tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain,
klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip (hukum) dan prakteknya.
G. Realisme Hukum
Dalam pandangan
penganut Realisme, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat
kontrol sosial. Kaena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas.
Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis,
gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua itu adalah pembentuk
hukum dan hasil hukum dalam kehidupan.
Realisme
berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada
putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap hukum dalam buku-buku
baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan. Realisme
dibedakan dalam dua kelompok:
1.
Realisme Amerika
Sebagaimana
dikatakan oleh Holmes Jr., dugaan-dugaan tentang apa yang akan diputuskan oleh
pengadilan itulah yang disebut dengan hukum. Sumber hukum utama ini adalah
putusan hakim. Tokoh-tokoh utama aliran Realisme Amerika antara lain:
a.
Charles Sanders Peirce (1839-1914)
Pragmatisme
menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan teoretis
yang benar. Oleh karena itu ide-ide perlu diselidiki dalam praktek hidup. Hal
ini diuraikan oleh Peirce dalam makalahnya berjudul How to Make Our Ideas Clear?(1878). Menurut Peirce, ide-ide
diterangkan dengan jalan analitis. Metode analitis ini harus digunakan secara
fungsional, yakni dengan menyelidiki seluruh konteks suatu pengertian dalam
praktek hidup.
b.
John Chipman Gray (1839-1915)
Sebagaimana ciri
Realisme Amerika, Gray menempatkan hakim sebagai pusat perhatiannya.
Semboyannya yang terkenal adalah All the
law is judge-made-law. Ia menyatakan bahwa disamping logika sebagai faktor
penting dalam pembentukan perundang-undangan, unsur logis memiliki pengaruh
yang besar dalam pembentukan hukum.
c.
Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935)
Menurut Holmes,
seorang sarjana hukum harus menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis.
Kalau ia berusaha mengambil sikap demikian, ia akan sampai pada keyakinan bahwa
penjahat pun sama sekali tidak menaruh minat pada prinsip-prinsip normatif
hukum. Bagi mereka yang penting manakah kelakuan aktual seorang hakim, yakni
pertanyaan, apakah seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu kelakuan
yang tertentu atau tidak. Ucapan Holmes yang terkenal yakni “Perkiraan-perkiraan tentang apa yang
diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya maksudkan dengan hukum“.
d.
William James (1842-1910)
James menyatakan
bahwa seorang pragmatis menolak abstraksi dan hal-hal yang tidak memadai,
penyelesaian secara verbal, alasan apriori yang tidak baik, prinsip yang
ditentukan, sistem yang tertutup, dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia
berbalik menentang kelengkapan dan kecukupan, fakta, perbuatan, kekuasaan.
e.
John Dewey (1859-1952)
Inti ajaran
Dewey adalah bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari
prinsip-prinsip teoretis seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang
kemungkinan-kemungkinan. Logika adalah teori tentang penyelidikan mengenai
akibat-akibat yang mungkin terjadi, suatu proses dalam mana prinsip umum hanya
bias dipakai sebagai alat yang dibenarkan oleh pekerjaan yang dikerjakan. Kalau
diterapkan dalam proses hukum, ini berarti bahwa prinsip-prinsip umumnya telah
ditetapkan sebelumnya harus dilepaskan untuk logika yang lebih eksperimental
dan luwes.
f.
Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)
Tokoh ini
beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat hukum mengikuti perangkat aturan
umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan
aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan. Namun
ia mengemukakan adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan ketat itu
apabila penganutan terhadap preseden tidak konsisten dengan rasa keadilan dan
kesejahteraan sosial. Ia berpendapat bahwa kebutuhan akan kepastian harus
diserasikan dengan kebutuhan akan kemajuan sehingga doktrin preseden tidak
dapat dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan abadi. Tampak dalam
pendapatnya bahwa dalam kegiatannya, hakim wajib mengikuti norma-norma yang
berlaku di masyarakat dan menyesuaikan putusannya dengan kepentingan umum.
g.
Jerome Frank (1889-1957)
Menurut Frank,
hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang tetap. Sama dengan Gray,
Frank berpendapat bahwa unsur-unsur lain seperti prasangka politik, ekonomi,
moral, bahkan simpati dan antipasti pribadi, semuanya ikut berperan dalam
putusan tersebut. Norma hukum sebaiknya dilukiskan sebagai suatu generalisasi
fiktif dari kelakuan hakim. Oleh karena itu, dengan melihat norma hukum itu
dapat juga diramalkan tentang kelakuan seorang hakim di masa depan, walaupun
ramalan tersebut hanya berlaku dalam batas tertentu.
2.
Realisme Skandinavia
a.
Axel Hagerstrom (1868-1939)
Hagerstom
menyatakan bahwa hukum seharusnya diselidiki dengan bertitik tolak pada data
empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan psikologis. Adapun yang dimaksud
dengan perasaan psikologis ini adalah rasa wajib, rasa kuasa dalam mendapat
untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan, dan sebagainya.
b.
Karl Olivecrona (1897-1980)
Olivecrona
menyamakan hukum dengan perintah-perintah yang bebas. Menurutnya, adalah keliru
untuk menganggap hukum sebagai perintah dari seorang manusia, sebab tidak
mungkin ada manusia yang dapat memberikan semua perintah yang terkandung dalam
hukum itu. Ia juga menolak untuk mengidentikkan pemberi perintah dari hukum itu
dengan negara atau rakyat.
Ketentuan
undang-undang itu sendiri hanyalah kata-kata di atas kertas. Kenyataan yang
berkenaan dengan reaksi-reaksi psikologis dari para individu, yakni ide tentang
tindakan apa dan perasaan apa yang timbul apabila mereka mendengar atau melihat
suatu ketentuan.
c.
Alf Ross (1899-1979)
Sebagaimana
penganut Realisme Hukum, Ross (ahli hukum Denmark) berpendapat bahwa hukum
adalah suatu realitas sosial. Ross berusaha untuk membentuk suatu teori hukum
yang empiris belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan
normatif sebagai unsur mutlak dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin kalau
berlakunya normatif dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi
atau ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam
realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif yang
berupa rasionalisasi dan symbol itu bukan realitas, melainkan bayangan manusia
tentang realitas.
d.
Herbert Lionel Adolphus Hart (lahir
1907)
Hart mengatakan
bahwa hukum harus dilihat, baik dari segi aspek ekstern maupun internnya. Dari
segi ekstern, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa, sebagaimana diartikan
oleh Austin. Di samping itu, ada aspek intern, yaitu keterikatan terhadap
perintah dari penguasa itu secara batiniah.
Hart membedakan
secara tegas antara hukum (dalam arti das
sein) dan moral (das sollen).
Adapun yang disebut hukum hanyalah menyangkut aspek formal. Artinya, suatu
hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk
ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
e.
Julius Stone
Julius Stone
memandang hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Makna dari kenyataan sosial ini
dapat ditangkap melalui suatu penyelidikan logis-analitis, sebagaimana telah
dipraktekkan dalam mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Akan tetapi niat Stone
ingin menjangkau lebih jauh lagi. Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran
tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Hal ini
merupakan kemajuan, sebab secara tradisional dalam mazhab hukum analitis
norma-norma hukum sama sekali tidak dipelajari.
Pandangan Stone
tentang hukum tidak jauh berbeda dengan Hart. Ia juga berpendapat bahwa hukum
harus dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan, baik yang mengandung
aspek moral maupun tidak.
f.
John Rawls (lahir 1921)
Rawls adalah
tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang kuat
dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang
masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori
Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh dalam
aliran Utilitarianisme.
H. Freirechtslehre
Freirechtslehre
(ajaran hukum bebas) merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum.
Penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang.
Hanya saja, undang-undang tidak merupakan peranan utama, tetapi sebagai alat
bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu
harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
Aliran hukum
bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas untuk menciptakan hukum. Penemu
hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret sehingga peristiwa-peristiwa
selanjutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.
Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan
pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik
tolak cara pendekatan problematik. Seorang yang menggunakan penemuan hukum
bebas tidak akan berpendirian “Saya
harus memutuskan demikian karena bunyi undang-undang adalah demikian“. Ia harus mendasarkan pada berbagai
argumen, antara lain undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar